Selasa, 05 Oktober 2010

TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK DAN FENOMENOLOGI SOSIAL

Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert Blummer. Awal perkembangan interaksionisme simbolik dapat dibagi menjadi dua aliran / mahzab yaitu aliran / mahzab Chicago, yang dipelopori oleh oleh Herbert Blumer, melanjutkan penelitian yang dilakukan George Herbert Mead. Blumer meyakini bahwa studi manusia tidak bisa diselenggarakan di dalam cara yang sama dari ketika studi tentang benda mati. Peneliti perlu mencoba empati dengan pokok materi, masuk pengalaman nya, dan usaha untuk memahami nilai dari tiap orang. Blumer dan pengikut nya menghindarkan kwantitatif dan pendekatan ilmiah dan menekankan riwayat hidup, autobiografi, studi kasus, buku harian, surat, dan nondirective interviews (Wibowo, 2007).
Menurut H. Blumer (1969) teori interaksionisme simbolik berpijak pada premis bahwa:
(1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada “sesuatu” itu bagi mereka
(2) makna tersebut berasal atau muncul dari “interaksi sosial seseorang dengan orang lain”
(3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat “proses interaksi sosial” berlangsung. “Sesuatu” – alih-alih disebut “objek” – ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.
Bagi H. Blumer, “sesuatu” itu – biasa diistilahkan “realitas sosial” – bisa berupa fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”. Sebagai realitas sosial, hubungan “sesuatu” dan “makna” ini tidak inheren, tetapi volunteristrik. Sebab, kata Blumer sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor melakukan serangkaian kegiatan olah mental: memilih, memeriksa, mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Dengan demikian, pemberian makna ini tidak didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dan sikap aktor atas sesuatu tersebut. Dari sini jelas bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar” (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh “kekuatan dalam” (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication.
Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu.
Lebih jauh Blumer dalam buku yang sama di halaman 78 menyatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain, bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons. Selain menggunakan Interaksionis Simbolik, kasus Sampit bisa didekati dengan metode Hermeneutik. Hermeneutik dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau falsafah yang menginterpretasi makna. Pada dasawarsa ini, Hermeneutik muncul sebagai topik utama dalam falsafah ilmu sosial, seni dan bahasa dan dalam wacana kritikan sastera yang mempamerkan hasil interpretasi teks sastera. Perkataan Hermeneutik berasal dari dua perkataan Greek: hermeneuein, dalam bentuk kata kerja bermakna ”to interpret” dan hermeneia, dalam bentuk kata nama bermakna ”interpretation”. Kaedah ini mengutamakan penginterpretasian teks dalam konteks sosiobudaya dan sejarah dengan mendedahkan makna yang tersirat dalam sesebuah teks atau karya yang diselidiki. Dokumen awal menjelaskan bahawa seorang ahli falsafah, iaitu Martin Heidegger menggunakan kaedah Hermeneutik pada tahun 1889-1976. Walau bagaimanapun, Hermeneutik telah mula dipelopori oleh Schleimarcher dan Dilthey sejak abad ke-17 dan diteruskan oleh Habermas, Gadamer, Heidegger, Ricoeur dan lain-lain pada abad ke-20.
Menurut Mueller (1997), Hermeneutik adalah seni pemahaman dan bukan sebagai bahan yang telahpun difahami. Hermeneutik juga adalah sebahagian daripada seni pemikiran dan berlatarkan falsafah. Oleh itu, untuk melakukan penginterpretasian terhadap ilmu pengetahuan tentang bahasa, maka adalah penting untuk memahami ilmu pengetahuan individu. Tetapi, pada hakikatnya adalah mustahil untuk menganalisis aspek-aspek psikologi seseorang itu. Kejayaan seni penginterpretasian bergantung kepada kepakaran linguistik dan kebolehan memahami subjek yang dikajinya.

• Fenomenologi
Pandangan Husserl tentang “Reduksi Fenomenologis”. Kita pada dasarnya cenderung untuk bersikap natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia. Untuk memulai fenomenologi kita seharusnya meninggalkan sifat ini pada dunia real. Reduksi bukan merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi, ada tidaknya dunia real tidak memiliki perannya lagi. bagi Husserl reduksi merupakan ada tidaknya dunia real tidak relevan dan persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi ini kita akan masuk pada “sikap fenomenologis”. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan) (Anonim, 2008).
Arti “fenomen” menurut Bertens (1983) merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Share

PADANG BULAN DAN CINTA DI DALAM GELAS

Novel ini merupakan lanjutan buku ke-empat Andrea Hirata yang berjudul “Maryamah Karpov”. Dimana pada novel tersebut mak cik Maryamah diceritakan sebagai pemilik warung kopi yang senang mengajari catur orang yang berada di sana. Dalam novel padang bulan, Maryamah memiliki nama kecil yaitu Enong. Enong merupakan anak sulung dari empat bersaudara yang sangat menggemari bahasa Inggris. Ayah Enong sangat menyayangi anaknya. Terbukti dengan Ayahnya yang rela pergi jauh ke Tanjong Pandan hanya untuk membelikan Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata. Enong merasa senang dengan kamus itu dan selalu dia bawa kemanapun pergi.
Beberapa hari kemudian muncul berita bahwa Ayah Enong jatuh tertelungkup dalam timbunan pasir dan meninggal seketika itu juga. Waktu itu Enong yang masih SD sangat terpukul karena baru beberapa hari Ayahnya membelikan kamus bahasa inggris yang sangat disayanginya telah pergi begitu saja. Saat berada di rumahnya, banyak pelayat memperhatikan Enong. Enong jadi bingung dengan keadaan ini karena dia sebagai anak sulung yang menurut orang-orang di sana akan menjadi kepala keluarga dan itu sangat mengganggu pikiran Enong. Masa prokreasi pun terjadi pada diri Enong saat itu . Dalam kutipan tersebut dikatakan:

”Sedangkan Enong, bermalam-malam tak bisa tidur. Ia gamang memikirkan apa yang selalu dikatakan orang tentang anak tertua. Namun, ia bahkan tak sepenuhnya paham makna kata tanggung jawab. Ia takut membayangkan akibat dari kata itu. Apakah ia harus bekerja? Bagaimana ia akan menghidupi keluarga, seorang Ibu, dan tiga orang adik? Apakah harus berhenti sekolah? Ia amat mencintai sekolah. Ia bingung karena masih terlalu kecil untuk dibenturkan dengan perkara seberat itu. Sekarang ia paham mengapa waktu itu banyak pelayat memandanginya.”

(Padang Bulan, Mozaik 4 halaman 25.)
Setelah Enong menerima internalisasi bahwa anak tertua dalam sebuah keluarga suatu saat akan menggantikan kedudukan ayahnya sebagai kepala keluarga, ia pun mulai mengobyektivasi segala hal yang berkaitan dengan kedudukan kepala keluarga. Ia mulai merencakan untuk mencari nafkah dan putus sekolah agar Ibu dan ketiga adiknya dapat makan. Segala macam pertimbangan dan keputusan Ibunya yang merasa berat atas kerelaan Enong yang notabene masih 14 tahun bekerja demi menghidupi keluarga yang baru saja ditinggal Kepala keluarga tersebut akhirnya memutuskan untuk bekerja.
Di sinilah proses eksternalisasi terjadi dan Enong pun merantau untuk mencari pekerjaan. Selama masa pencarian kerja, Enong berkali-kali ditolak lamarannya. Hal ini disebabkan Enong yang masih dibawah umur dan penampilannya kurang menarik untuk dijadikan pegawai. Dengan bantuan seorang pemilik toko untuk keperluan sembahyang bagi orang Tionghoa, Enong mendapatkan uang untuk kembali ke kampungnya setelah berhari-hari tidak punya uang. Di kampungnya, akhirnya Enong ingin mencoba pekerjaan yang hanya boleh dilakukan oleh kaum pria, yaitu menjadi kuli timah. Dengan tekad yang kuat akhirnya ia pergi untuk mendulang timah di dalam hutan yang jarang didatangi oleh orang. Disitulah orang-orang mulai mengetahui eksistensi seorang perempuan yang untuk pertama kalinya ikut mendulang timah.
Setelah beberapa tahun, ketiga adiknya akhirnya sudah menikah dan tinggal dia dengan Ibunya sendiri di rumah. Sambil bekerja, ia mengikuti kursus bahasa Inggris dua minggu sekali. Dan akhirnya, Enong menjadi lulusan terbaik ke-lima dan bermetamorfosa menjadi Maryamah. Ia bangga dengan hal itu. Hal yang paling diinginkannya selama masih kecil, yaitu pandai berbahasa Inggris.

Maryamah dipinang oleh seorang lelaki temperamen bernama Matarom, yang bisa dikatakan Grand Master nya catur di kampung Maryamah. Inilah masa kreasi, masa ketika Maryamah hidup mandiri dan mempunyai suami. Tetapi sayang, pernikahan mereka cuma sementara karena banyak sekali masalah dalam rumah tangga Maryamah. Akhirnya mereka pun bercerai.
Masa kreasi yang singkat ini membuat Maryamah sadar bahwa hidup harus terus berjalan sekalipun tanpa seorang pendamping. Akhirnya Maryamah berencana untuk menjatuhkan mantan suaminya pada kejuaraan catur yang diadakan setiap 17 Agustus. Masa rekreasi Maryamah pun tiba. Ia ingin kesetaraan gender ditegakkan. Ia ingin membuka sejarah baru bahwa wanita juga bisa melakukan apa yang dilakukan oleh pria, bahkan bisa melampauinya. Semua dimulai dengan nol, ia kursus dengan Ikal dan Detektif kontet M. Nuh. Tak cuma dua orang yang membantu Maryamah. Ninochka Stronovsky, seorang Grand Master asal Georgia, turut membantu Maryamah lewat komunikasi internet. Maryamah menjadi pandai memainkan bidak-bidaknya dan siap untuk mengikuti kejuaraan catur.
Kejuaraan pun berlangsung dengan jumlah peserta mencapai 75 orang. Laki-laki berjumlah 74 dan wanita 1 orang. Banyak pro kontra tentang keikutsertaan Maryamah. Tetapi Maryamah tetap ikut bertanding. Setiap pertandingan, Maryamah selalu mendapat bantuan oleh Ninochka Stronovsky melalui Ikal. Akhirnya, Maryamah berhasil masuk final dan berhadapan dengan mantan suaminya sendiri, Matarom. Melalui tiga babak yang pelik, akhirnya untuk pertama kali Matarom dikalahkan oleh seorang pecatur lainnya, dan yang lebih menakjubkan bahwa wanita lah yang mengalahkan Grand Master tersebut.


Makna dari permainan catur yang Maryamah kuasai ialah bahwa papan catur tersebut telah menjadi jalan hidupnya. Ketika raja nya mati, dalam hal ini Ayahnya, ia menggantikan kedudukannya sebagai raja dalam papan catur. Setiap pola merupakan proteksi yang kuat dari Maryamah sebagaimana Maryamah melindungi Ibu dan adik-adiknya (Ibunya meninggal sebelum Maryamah mengikuti kompetisi) yang sulit ditembus lawan. Ketika ia memiliki tekad untuk mengubah keadaan, maka jalan itu akan ia tempuh dengan sungguh-sungguh dan menjadi prioritas dalam hidupnya. Ia pun dijuluki Maryamah Karpov, nama Karpov diambil dari seorang pecatur Rusia Anatoly Karpov, yang memiliki sistem pertahanan benteng yang sulit diketahui oleh lawan.
Pelajaran yang dapat diambil ialah bahwa kita jangan pernah takut untuk melakukan perubahan. Perubahan tidak harus dilakukan oleh sekian banyak orang. Satu orang pun cukup untuk membentuk perubahan yang signifikan. Selain itu, kita juga harus memaknai hidup dan mensyukuri apa yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Dan jangan pernah menyerah dalam mencari kebenaran hidup. Share

Senin, 04 Oktober 2010

DUA PERSPEKTIF SOSIOLOGI DALAM MENGKAJI PERILAKU PETANI DALAM MASYARAKAT

Pada dasarnya, perspektif diartikan sebagai cara pandang kita terhadap sesuatu. Cara pandang ini tentu bisa berbeda-beda dari setiap individu yang menilainya. Sebagai contoh, bisa jadi perspektif seseorang akan beda terhadap orang yang sedang berpacaran. Ada yang mempunyai perspektif kalau pacaran bisa mengganggu proses belajar dan tidak bisa mengembangkan potensi pribadi, karena setiap hari yang diurus hanya berpacaran saja. Dan ada pula orang yang memandang bahwa pacaran sebagai salah satu anugerah, karena dapat dijadikan penyemangat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Hidup terasa lebih berwarna jika kita dapat saling menyayangi dengan orang yang kita sayangi. Ilustrasi diatas menggambarkan contoh yang sederhana dari pengertian perspektif.
Dalam bidang pertanian, terdapat dua perspektif sosiologi dalam mengkaji perilaku petani didalam sebuah masyarakat. Dua perspektif itu ialah sebagai berikut:
1. Perspektif Mekanistik
Pengertian umum mengenai perspektif ini ialah cara pandang dimana manusia melakukan sesuatu karena struktur sosial yang memang sudah ada sebelumnya. Manusia diatur sebagai pelaku utama oleh tatanan sosial yang kolektivitas. Tidak ada cara lain bagi seorang manusia untuk bisa keluar dari tatanan ini, karena tatanan ini telah ada jauh sebelum masyarakat berkembang dan tak bisa diganggu gugat keberadaannya. Pada masyarakat desa terdapat ikatan solidaritas yang bersifat mekanistik dalam arti bahwa hubungan antar warga seakan telah ada aturan semacam tata krama atau tata tertib yang tidak boleh dilanggar jika tidak ingin mendapat sanksi. Adanya tata tertib tersebut sesungguhnya ingin menjaga suatu comformity di kalangan masyarakat desa itu sendiri.
Saya mengambil contoh kasus perspektif yang bersifat mekanistik dalam masyarakat tani ialah munculnya kebijakan pemerintah pada era 80-an yang bertujuan agar Indonesia menjadi negara yang melakukan swasembada beras. Pada waktu itu secara “paksa” petani diberikan satu macam benih padi, pupuk yang harus digunakan, dan lain sebagainya. Tidak ada kata lain bagi petani itu sendiri selain apa yang diberikan oleh pemerintah. Sebuah pelanggaran berat jika petani menentang kebijakan tersebut. Oleh karena itu, metode ini menuai hasilnya pada tahun 1984, dimana Indonesia berhasil melakukan swasembada beras dan mendapat penghargaan sebagai negara percontohan dalam pengembangan pertanian oleh FAO. Disisi lain, petani merasa tidak nyaman dengan segala keterpaksaan ini dan merasa tidak bisa mengembangkan potensi diri mereka sendiri. Oleh karena itu, ketika pemerintahan berganti, Indonesia tidak bisa lagi melakukan swasembada beras. Ini wujud dari “kemerdekaan” petani setelah beberapa tahun terkurung dibawah kebijakan pemerintah pada masa itu.

2. Perspektif Humanistik
Merupakan suatu cara pandang melihat manusia sebagai aktor yang memiliki otonomi didalam melakukan tindakan. Manusia dilihat sebagai entitas yang memaknai realitas-realitas didalam kehidupan dan berdasarkan hasil pemaknaan itu manusia melakukan tindakan tertentu/menjalankan perilaku tertentu. Selain itu manusia juga dilihat sebagai pelaku aktif yang memiliki pikiran, akal budi, dan perasaan didalam menginterpretasikan kehidupan.
Dalam kehidupan petani, perspektif ini menggambarkan bagaimana petani menentukan pilihan didalam berbagai keanekaragaman yang ada. Bagaimana petani menentukan sikap atas pilihannya. Petani mengetahui bagaimana mengelola sawahnya sendiri sehingga lebih produktif. Dan bagaimana petani menyikapi dinamika yang terjadi dalam pasar, kebijakan pemerintah daerah, dan lain sebagainya. Misalnya, menentukan harga gabah yang sesuai dengan pasaran. Tidak mahal namun juga tidak terlalu murah. Hal ini penting dilakukan sebagai seorang petani agar ia tidak rugi dalam menjual hasil produksinya dan bisa terus berkembang dan mengikuti persaingan pasar yang ada.
Petani menjadi aktor dalam segala usaha yang dilakukannya tersebut. Ia memiliki pilihan yang baik bagi mereka sendiri sehingga mereka tetap berinovasi terus menerus, petani bisa bersikap meaning full action. Yang berarti petani melakukan sepenuhnya apa-apa yang harus dilakukan dan yang harus dihindari. Tentu orang lain harus bisa menghormati pilihan mereka karena mereka memiliki otoritas atas segala yang mereka pilih dan perjuangkan kedepannya. Share